BANJARMASIN, KOMPAS - Jumlah penyuluh program keluarga
berencana di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan
terus berkurang dalam sepuluh tahun terakhir. Sebagian penyuluh
diangkat menjadi pejabat oleh bupati atau wali kota dan belum diganti
sampai sekarang.
Kondisi itu diperoleh dalam ekspedisi mobil unit
penerangan (Mupen) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) yang dimulai dari Kota Pontianak, Selasa (11/6), dan berakhir di
Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Senin
(17/6). Ekspedisi bertajuk ”Borneo Mupen on The Road” itu menyusuri
jalan trans-Kalimantan. Peserta dari Kalimantan Timur melaksanakan
ekspedisi dari daerahnya dan bertemu peserta ekspedisi dari tiga
provinsi lain di Barabai.
Kepala BKKBN Perwakilan Kalimantan
Selatan Sunarto menjelaskan, saat ini hanya terdapat 606 penyuluh KB di
daerahnya yang melayani 1.998 desa. Idealnya, satu penyuluh KB melayani
maksimal dua desa. ”Untuk daerah-daerah sulit, satu penyuluh hanya mampu
melayani satu desa,” katanya, akhir pekan lalu.
Di Kalimantan
Barat, saat ini tersisa 202 penyuluh KB yang harus melayani 1.900 desa.
”Di salah satu kabupaten, jumlah penyuluh KB yang semula 15 orang, saat
ini tak ada sama sekali karena diangkat menjadi pejabat. Di kabupaten
lain, ada 8 dari 15 penyuluh KB diangkat menjadi camat. Posisi yang
mereka tinggalkan tak pernah diisi lagi sehingga tugas penyuluh KB
tersisa semakin berat,” kata Kepala BKKBN Perwakilan Kalbar Dwi
Listyawardani, Minggu (16/6).
Keluhan terbatasnya jumlah penyuluh
KB itu juga diungkapkan Kepala BKKBN Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng,
Sopiah dan Kepala BKKBN Kabupaten Landak, Kalbar, B Darmo CL. Di Pulang
Pisau, hanya ada 8 penyuluh KB yang melayani 46 desa. Di Landak, 15
penyuluh KB melayani 156 desa.
Keterbatasan jumlah penyuluh KB
yang juga menjadi fenomena umum di sejumlah daerah di Indonesia itu
berkontribusi besar terhadap angka kelahiran yang cenderung tinggi dan
angka fertilitas total (TFR) yang juga meningkat. Ini semacam bukti
bahwa era Reformasi tak bisa mengulang sukses Orde Baru dalam program
KB.
Dampak politik
Sejak era reformasi
dan penerapan sistem otonomi daerah, para penyuluh KB yang ditempatkan
di kota dan kabupaten menjadi tanggung jawab bupati dan wali kota.
Pemekaran daerah otonom baru juga menyebabkan persoalan KB kian rumit.
Di
daerah pemekaran, jabatan fungsional harus diisi pegawai negeri sipil
(PNS) yang memenuhi kualifikasi kepangkatan. Para penyuluh KB umumnya
sarjana sehingga tak perlu waktu lama untuk memenuhi kualifikasi
kepangkatan untuk mengisi jabatan fungsional di daerah otonom baru.
Perlunya
penyuluh KB baru itu sudah berulang kali disuarakan, tetapi belum ada
respons yang signifikan. ”Bisa dikatakan, program KB itu adalah korban
otonomi daerah dan pemekaran karena penyuluh yang diangkat menjadi
pejabat oleh bupati atau wali kota sampai sekarang tidak diganti,” kata
Dwi.
Sambil menunggu respons pemerintah pusat yang lebih nyata,
BKKBN Perwakilan Kalsel dan Kepolisian Daerah Kalsel membuat terobosan.
Mereka bekerja sama melatih para bayangkara pembina keamanan dan
ketertiban masyarakat menyosialisasikan program KB di desa-desa,
terutama desa yang tak terlayani penyuluh KB.
0 komentar:
Posting Komentar